Senin, 26 Februari 2018

Naik Kereta Tebu Berhantu

Rei semangat sekali untuk liburan ke Solo kali ini. Paman Budi berjanji mengajaknya menginap di daerah ladang tebu Sondokoro, ladang tebu kuno dari sejak zaman Belanda, dan naik kereta tuanya! Pagi itu, seusai sarapan ia langsung berlari menuju lading tebu itu. “Rei, kamar tidurmu sudah dirapikan belum?” seru Tante Tia. Duh, malas sekali kalau harus kembali lagi ke rumah, begitu pikir Rei. “Sudah!” jawab Rei sambil berharap Tante Tia tidak memeriksa kamarnya yang masih berantakan. “Sudah pakai topi belum, Rei?” seru Tante Tia lagi. Sayangnya, Rei sudah terlalu jauh untuk bisa mendengar seruan Tante Tia itu. Ia terus berlari mengitari sebagian ladang tebu dan sampai ke tempat kereta tebu kuno itu diparkir. “Bagus , ya,” sapa sebuah suara dari belakang Rei. Rei menoleh dan berhadapan dengan anak perempuan seusianya. Rambutnya pirang kecoklatan. “Lieke,” kata anak itu sambil mengulurkan tangan putihnya.
Share:

Makhluk Bulan Purnama

Bulan bentuknya bulat dan bundar seperti bola. Sinarnya masuk ke kamar Dito. Dito sedang berdiri di muka jendela, dan Tuan Omongkosong duduk di tepi jendela. “Bulan itu indah, ya, Tuan Omongkosong! Tetapi, kok, Makhluk Bulan tidak kelihatan? Dia pergi ke mana, ya?” “Aku panggilkan, ya,” TuanOmongkosong menawarkan. Dito memandangnya dengan heran. “Kau kenal si Makhluk Bulan?” Tuan Omongkosong melompat dari tepi jendela dan berdiri di atas kedua tangannya. “Tentu aku mengenalnya! Aku, kan, si Omongkosong, jadi aku mengenal semua yang ada dan tidak ada! Aku.” “Hoi, Omongkosong! Kau memanggilku? Aku mendengarmu berpikir!” katanya. Dito merasa aneh. Bagaimana mungkin kau bisa mendengar seseorang berpikir? Namun, ya, itu, dengan Tuan Omongkosong semuanya mungkin! Makhluk Bulan kelihatannya seperti kertas perak. Di rambutnya berkerlap-kerlip bintang-bintang kecil.
Share:

Detektif Makan Siang

Rudi sangat suka cerita detektif. Ia dan teman-temannya bercita-cita menjadi detektif. Mereka juga sering membaca buku cerita detektif. Tentu saja mereka juga suka bermain detektif-detektifan. Permainan mereka semakin seru karena sekarang Rudi punya sahabat baru, namanya Amir. Baca juga: Sahabat Baru Rudi “Bayu, Amir, akhir minggu ini menginap di rumahku, yuk,” ajak Rudi. “Yuk. Aku sudah enggak sabar menginap di rumah barumu apalagi setelah mendengar keseruan malam cerita,” sambut Bayu. “Pasti kamu dengar dari Runi, ya?” tebak Rudi. “Tentu saja. Runi selalu cerita tanpa diminta ha ha ha,” jawab Bayu. “Hmmm…. Aku tanya orang tuaku dulu, ya,” ujar Amir. Esoknya, Bayu dan Amir mengabarkan kalau orang tua mereka mengizinkan untuk menginap. Rudi senang sekali ketika mendengar kabar sahabat-sahabatnya boleh menginap di rumahnya. Rudi sudah membayangkan keseruan menyelidiki rumah tua Datuk. “Datuk, akhir minggu ini teman-temanku akan menginap di sini,” lapor Rudi. “Teman-teman yang pernah menginap di sini, ya?” tanya Datuk. “Bukan yang itu. Kali ini yang akan menginap Bayu dan Amir, sahabat-sahabat Rudi,” kilah Runi.
Share:

HOME CERITA Rambut Elektrik

“Wuaaa!!!” Stella menjerit histeris dan langsung menutup matanya begitu melihat cermin. Ada hantu! Bukan, itu bukan hantu! Itu monster! Tapi, monster apa, ya? Stella membuka matanya sedikit dan mengintip ke dalam cermin. Aha, dia melihat monster itu lagi. Itu adalah monster landak! Tepatnya, monster landak kesetrum! Tadi siang, Mama menyuruh Stella potong rambut. Kata Mama, rambut Stella sudah terlalu panjang. Rambut Stella memang istimewa, kaku dan susah diatur. Huh, kadang Stella sampai kesal karena harus berkali-kali menyisirnya. Apalagi, kalau ada angin kencang menerpanya, wuiii... rambutnya langsung mengembang seperti matahari! Makanya, Mama menyuruh Stella potong rambut. Stella, sih, oke-oke saja. Tapi, dia tidak mengira hasilnya bakal begini. Waktu di salon, Rambutnya lumayan oke, meskipun Stella merasa agak terlalu pendek. Tapi, begitu sampai rumah dan bercermin... wow, Stella melihat monster landak kesetrum. Rambutnya berdiri kaku semua! Kalau Stella punya pesawat ajaib yang bias mengirimnya ke Planet Mars, pasti dia akan pergi ke sana sekarang juga. Tapi, bagaimana mungkin??? Stella bingung! Pusing! Pusing! Pusing! “Pokoknya Stella besok enggak mau sekolah, Ma. Stella malu ketemu teman-teman,” adu Stella. “Ya ampun, Stella. Masak begitu saja menyerah. Rambut kamu bagus, kok,” hibur Mama. “Kalau cuma masalah kependekan, sebentar lagi juga bakal tambah panjang.” “Bagus? Monster landak kesetrum begini dibilang bagus? Aduuuh, Mama ada-ada saja, deh!” seru Stella. “Pokoknya besok Stella enggak mau masuk sekolah!” Stella berlari ke kamarnya. Dia tidak mau dengar bujuk rayu Mama lagi. Stella mengambil buku agenda di tasnya. “Uwaaa!!!” Stella menjerit. Ternyata, besok tidak mungkin bolos. Ada ulangan matematika jam pertama. Brukkk! Stella ambruk ke kasur empuknya.
Share:

Pindah ke Rumah Tua


Pindah ke rumah tua | Dok. Majalah Bobo / Joko Rudi memasuki rumah tua yang dipenuhi kardus-kardus itu. Rumah itu sering didatanginya pada saat liburan. Kali ini, rumah tua itu akan menjadi tempat tinggalnya. Ya, Rudi dan keluarganya akan pindah ke rumah ini. “Letakkan di kamar kedua di sebelah kanan, ya,” terdengar suara Bu Dini, ibu Rudi. Bu Dini memberikan petunjuk kepada para petugas pengangkut barang. Tangannya menunjuk-nunjuk untuk memperjelas perintahnya. “Rudi dan Runi, kalian bisa pilih kamar kalian sendiri,” terdengar suara Pak Heru, ayah Rudi. “Horeeeee!” sorak Rudi dan Runi serempak. Selama ini Rudi selalu sekamar dengan Runi, kakak perempuannya itu. Apartemen tempat tinggal mereka sebelumnya hanya memiliki 2 kamar. Satu kamar untuk orang tua, satu kamar lagi untuk anak-anak. Kamar anak-anak yang ditempati Rudi dan Runi dipisahkan oleh 2 meja belajar dan lemari pakaian. “Aku pilih kamar yang menghadap kebun buah,” teriak Runi dengan lantang. Runi sengaja memilih kamar yang menghadap kebun buah. Runi sangat suka makan buah. Hmmm… Sebenarnya, Runi suka semua jenis makanan.

Di halaman samping rumah ini, ada pohon rambutan, mangga, jambu, jeruk, manggis, dan sawo. “Aku pilih kamar yang dekat perpustakaan,” gumam Rudi sambil berjalan pelan menuju kamar pilihannya. Rudi sangat suka membaca. Ruang perpustakaan adalah ruangan favoritnya di rumah tua ini. Rumah tua berlantai 2 ini sangat besar. Ada 17 kamar di rumah ini. 

Di tempat inilah tinggal seorang pria tua bertubuh kurus yang dikenal sebagai Datuk. Datuk adalah kakek Bu Dini, ibu Rudi dan Runi. Umurnya sudah mendekati 90 tahun. Dialah yang menempati kamar paling depan di rumah besar itu. Selain kamar paling depan, semua tamu yang datang menginap boleh memilih 16 kamar lainnya. Walaupun sudah tua, Datuk masih sehat. Dia suka berjalan-jalan mengelilingi rumahnya yang besar. Sebelum keluarga Pak Heru pindah ke rumah ini, Datuk ditemani oleh Bapak dan Ibu Marno, sepasang suami istri. Mereka lebih akrab disapa dengan nama Pak No dan Bu No. Pak No membantu membersihkan rumah dan merawat tanaman. Bu No membantu memasak dan mengurus pakaian. Sebulan yang lalu, Pak No pindah ke rumahnya sendiri. Rumah mungil Pak No letaknya tidak jauh dari rumah Datuk. Setiap hari, Pak No dan Bu No datang untuk membantu di rumah Datuk. Walaupun Pak No dan Bu No datang setiap hari, Bu Dini tetap khawatir pada kesehatan kakeknya yang sudah tua itu. Bu Dini ingin mengajak kakeknya tinggal bersama. Mereka harus memilih, mengajak Datuk tinggal di apartemen mereka, atau mereka yang tinggal di rumah Datuk. Akhirnya Bu Dini mengajak keluarganya pindah ke rumah tua itu karena apartemen mereka terlalu sempit. “Cukup untuk hari ini. Kita lanjutkan besok, ya,” seru Bu Dini. Tak terasa, malam pun tiba. Rudi yang kelelahan segera menuju kamarnya. Dia membaringkan diri di tempat tidur. Tak lama kemudian, Rudi dikagetkan oleh jeritan kakaknya. “Aaaaa! Ada orang di luar jendelakuuuu!” jerit Runi. Rudi segera berlari menuju kamar kakaknya. 

Di lorong, ia bertemu dengan ayah ibunya. Mereka semua terbirit-birit berlari menuju kamar baru Runi. “Ada orang berambut panjang di luar. Hiiii…. Aku takut. Jangan-jangan itu hantu,” kata Runi sambil memeluk bantal. Bu Dini memeluk anaknya yang gemetar ketakutan itu. Runi menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya. Pak Heru segera keluar membawa senter. Rudi melihat ke jendela di kamar kakaknya. Jendela itu terbuka. Tirainya sedikit bergoyang tertiup angin. “Huhuhu… Aku mau pindah kamar aja,” kata Runi di sela isak tangisnya. “Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi, ya. Mungkin kamu melihat bayangan tirai,” hibur Bu Dini. Tangis Runi malah terdengar makin keras. Makin banyak yang memberi perhatian, makin kencang tangisannya. Kalau sudah seperti ini, Rudi diam saja. Dulu, dia pernah mengatai kakaknya ini “anak cengeng”. Jadinya Runi malah menangis sepanjang malam. Padahal mereka menempati kamar yang sama. Rudi pun menyesal dan berjanji dalam hati tidak akan mengatai kakaknya saat sedang menangis. “Runi, Ayah sudah temukan hantu berambut panjangnya. Sini, kenalan dulu,” kata Pak Heru dari balik tirai jendela. 

Pak Heru memang sering menggoda anaknya yang penakut itu. “Huaaaaa!” jerit Runi makin menjadi-jadi. “Runi, ini Bu No. Maaf, ya, kalau kamu jadi takut. Tadi Ibu melihat jendela ini terbuka dan lampunya menyala. Ibu cuma mau melihat ada siapa di dalamnya,” kata Bu No. “Ha ha ha,” tawa Rudi. Suara tawanya yang semula ditahan itu lama-lama semakin keras. Tak lama kemudian, seisi ruangan itu sudah dipenuhi dengan tawa. Semua orang tertawa, termasuk Runi. Ternyata yang dia kira hantu adalah Bu No. Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon
Share: